Monday, April 7, 2008

Status Hukum Harus Jelas

From : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/status-hukum-harus-jelas.html

JAKARTA(SINDO) – Pemerintah didesak untuk memperjelas status hukum kasus lumpur Lapindo demi penyelesaian masalah ini secara tuntas.
Desakan tersebut dikemukakan anggota Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR RI Effendi Simbolon. ”Kalau hukum declare dia (Lapindo) tidak bersalah, katakan tidak bersalah. Kalau bersalah, katakan dia bersalah,” kata Effendi saat pertemuan antara Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR RI dengan PT Lapindo Brantas di Gedung DPR Jakarta kemarin.
Anggota Fraksi PDIP DPR ini juga menegaskan perlunya dilakukan gelar perkara atas masalah itu dengan melibatkan ahli, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan itu, kata dia, akan jelas apakah statusnya bencana alam atau kesalahan korporasi. Sebab hal itu berbeda dengan tsunami yang jelas merupakan bencana alam.
”Kalau kita lihat Minarak dan Lapindo sudah siap dengan jalur hukum. Ini ada perusahaan swasta yang mau mengucurkan Rp2,4 triliun, dengan status yang belum jelas, ini misteri,” ungkapnya. Sementara itu, pihak PT Lapindo Brantas menyatakan siap dengan status hukum apa pun yang akan ditetapkan pemerintah.
”Lapindo tetap berkomitmen, apa saja status hukumnya yang nanti ditetapkan.Apakah bencana alam atau lainnya, kami akan tetap penuhi Perpres 14,” ujar General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino. Imam juga mengatakan sedang menyiapkan permukiman terpadu bagi korban lumpur Lapindo. Hal ini untuk merespons tuntutan agar disiapkan permukiman bagi para korban.
”Kami telah buat permukiman terpadu, biar tetap bisa hidup dengan tetangga,” ungkapnya. Menurut Imam, permukiman tersebut berada di daerah Sukodono,Waru, Sidoarjo. Maret 2008 nanti rumah pertama sudah terbangun. Namun masyarakat juga bisa memilih meminta sisa ganti rugi 80% kalau tidak mau menerima unit rumah di perumahan itu.
”Pembayaran 80% akan diselesaikan satu bulan sebelum kontrak habis,” tutur Imam. Sementara untuk pembayaran 20%, Imam mengatakan akan diselesaikan awal Desember. Sementara itu, korban lumpur Lapindo menanggapi dingin keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengalahkan gugatan perdata warga korban lumpur terhadap PT Lapindo Brantas Inc,Presiden SBY,Menteri ESDM, Menteri LH dan Bupati Sidoarjo. Sebab, sejak awal mereka sudah tidak yakin gugatan mereka bisa menang.
Justru dengan fakta tersebut, korban lumpur semakin memantapkan rencana melaporkan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Dengan cara ini, korban lumpur berharap hak-hak mereka bisa diperjuangkan, terutama terkait hak asasi dan hak-hak warga yang terampas semenjak terjadinya semburan lumpur panas. Jika tidak ada aral melintang, pertengahan Desember ini perwakilan korban lumpur akan terbang ke Belanda.
”Semua keperluan administrasi perwakilan kita yang akan berangkat ke Den Haag sudah siap. Kini tinggal menggalang dana untuk bekal,” ujar H Sunarto,korban lumpur yang juga Ketua Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak). Selain ke Mahkamah Internasional, korban lumpur juga mengancam akan mencari suaka ke Amerika Serikat (AS).
Sunarto mengaku pihaknya tengah melobi pejabat Konjen AS. Arifin,korban lumpur yang saat ini juga tinggal di Pasar Baru Porong (PBP) mengaku sangat kecewa atas keputusan PN Jakarta Pusat yang mengalahkan gugatan mereka.Namun,warga tetap akan bertahan di PBP menuntut hakhak mereka. ”Kita tidak peduli apakah gugatan kita menang atau tidak. Yang penting sekarang bagaimana tuntutan kita dipenuhi. Kita korban, jangan diperlakukan semaunya sendiri,” terang Arifin.
Secara terpisah, Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Ali Maschan Moesa menilai relokasi korban lumpur Lapindo sebagai solusi terbaik. ”Putusan PN Jakarta Pusat soal lumpur di kawasan eksplorasi Lapindo Brantas Inc membuktikan bahwa hukum bukan solusi,” kata Maschan.
Menurut doktor alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu,hukum mungkin memuaskan secara formal yuridis, tapi hukum tidak akan pernah memuaskan dalam aspek keadilan. ”Saya melihat, keputusan majelis hakim sebagai bukti bahwa Lapindo hanya pelaksana dalam pengeboran, tapi pemerintah melalui BP Migas adalah pemilik lokasi pengeboran yang menentukan titik pengeboran itu sendiri,” katanya menambahkan.
Oleh karena itu, lanjut pengasuh Pesantren Luhur Al-Husna, Jemurwonosari, Surabaya itu, Lapindo sebagai pelaksana dapat saja disalahkan, tapi pemerintah sebagai ”pemilik”juga harus lebih bertanggung jawab menyelamatkan korban. ”Tanggung jawab yang paling prinsipil adalah pemerintah harus melakukan relokasi karena para ahli geologi sudah menyimpulkan lumpur Lapindo adalah mud vulcano yang tak dapat diselesaikan dalam 2–3 tahun,” katanya.
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu mengatakan, majelis hakim dapat saja memutuskan bahwa pemerintah dan Lapindo sudah mengeluarkan uang dan membentuk badan khusus untuk menangani lumpur yang meluap sejak 29 Mei 2006 itu. ”Tapi, tanggung jawab dalam bentuk uang dan badan khusus itu belum prinsipil karena lumpur yang bersifatmud vulcano itu akan berlangsung lama dan luas kawasan luapan/semburan akan terus bertambah,” katanya.
Pengganti KH A Hasyim Muzadi ini lebih jauh menegaskan, tanggung jawab dalam bentuk uang ganti rugi dan badan khusus hanya akan membuat masalah yang ada berputar terus dan mengesankan adanya kesengajaan pemerintah mengadu korban lumpur dengan pejabat Lapindo.
”Saya kira, pemerintah harus melakukan relokasi secepatnya untuk berlomba dengan luapan lumpur karena relokasi lebih penting dalam jangka panjang. Sebab, relokasi akan menciptakan kehidupan korban lumpur menjadi normal dengan memiliki rumah, pasar, sekolah, tempat ibadah, dan sarana sosial lain seperti dulu,” katanya. (dian widiyanarko/ abdul rouf/ant)

No comments: