Monday, April 7, 2008

Kasus Lapindo, Fakta Kegagalan Supremasi Hukum

Jakarta (28/11)- Dampak lumpur Lapindo makin meluas. Selain menggenangi ruas tol Porong-Gempol, luberan lumpur membanjiri Desa Kedungbendo dan Renokenongo. Titik terang penyelesaian makin rumit. Hal ini terindikasi pasca ledakan pipa gas Pertamina di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (22/11). Sekitar 300-400 orang masih bertahan di kedua perkampungan warga tersebut. Kini, evakuasi warga menjadi prioritas pokok Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo.Saat ini, korban lumpur Lapindo menempati Pasar Baru Porong, Sidoarjo, sebagai rumah tinggal sementara. Hingga kini, mayoritas warga yang menjadi korban lumpur Lapindo kebingungan. Derita materiil yang diganti, tak sebanding dengan total kerugian non-materi yang diderita. Hal ini menambah rumit persoalan warga sekitar PT Lapindo Brantas Inc. Lebih-lebih lagi, pasca jebolnya tanggul lumpur akibat pipa gas Pertamina yang meledak. Jalur transportasi massal, seperti tol dan rel kereta api, terancam tak berfungsi. Dengan demikian, jalur utama jalan darat ke arah selatan dan timur Surabaya lumpuh.Dikabarkan bahwa kebutuhan gas Jawa Timur yang dipasok Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebesar 130 mmscfd (juta kaki kubik per hari) praktis berkurang. Kini, pasokan gas hanya berkisar 45 mmscfd. Kerugian pun tak terelakkan. Petrokimia Gresik, PLTGU Gresik, PT Ajinomoto, PT Miwon, Surabaya Agung Kertas, Chiel Samsung, dan Sasana Inti, adalah sederet pelanggan PGN yang merugi.Semburan lumpur yang meluas, sejak 29 Mei 2006 lalu, merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan kejahatan lingkungan PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada (EMP). Dalam pengamatan WALHI, semburan lumpur terjadi akibat PT Lapindo Brantas Inc. (EMP) tidak melakukan pemasangan casing 9 5/8’, yang menjadi standar keselamatan pengeboran. Akibatnya, lumpur panas sebesar 150.000 m3/ per hari, yang mengandung fenol (gas kimia beracun), menenggelamkan wilayah sekitarnya.Dalam pengamatan WALHI, PT Lapindo Brantas Inc/PT Energi Mega Persada (EMP) telah melakukan aktivitas kejahatan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitarnya. Betapa tidak, setiap harinya lumpur panas ini terus bertambah sekitar 150 ribu m3, hingga 6 bulan berselang, lumpur menenggelamkan permukaan bumi Porong lebih dari 7 juta m3 dan menggenangi lebih dari 300 ha lahan masyarakat, meliputi persawahan, pemukiman, dan fasilitas umum lainnya, seperti sekolah, masjid, rumah sakit, dan sebagainya.Lebih dari itu, menurut analisa lingkungan yang diprakarsai Bappedal Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc., disebutkan bahwa lumpur yang menggenangi lebih dari 5 perkampungan warga mengandung konsentrasi fenol yang melebihi ambang batas. Misalnya, dengan konsentrasi pada air, 46mg/1, 50% populasi ikan mas mati. Selain itu, fenol merupakan racun bagi tumbuhan air, meski dalam kadar yang minimal, dapat diurai oleh mikroorganisme. Pada titik ini, dapat disebutkan betapa berbahayanya bila lumpur di buang ke laut. Tak hanya itu, kadar fenol yang melebihi batas normal amat rentan bagi kesehatan manusia. Hal ini sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3.Dari aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), menurut WALHI, PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Dalam pada itu, 6 bulan berlalu, penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung jelas. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat.Dalam pengamatan WALHI, pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana.Mengamati lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya /public inquiry/. Suatu upaya yang dapat ditempuh oleh masyarakat (melalui DPR) guna meminta pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas Inc. Dalam pada itu, jaksa agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas. Melalui public inquiry, masyarakat menjadi tahu dan meyakini adanya proses penyelesaian kasus lumpur Sidoarjo. Terlebih, berkaitan dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab secara politik dan hukum.Mengawalinya, PPNS KLH (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil–Kementrian Lingkungan Hidup) melakukan penghitungan lapangan, dengan mendata kerugian materiil dan imateriil akibat kasus lumpur Sidoarjo.
Selanjutnya, KLH dapat mengajukan gugatan perdata terhadap PT Lapindo Brantas Inc. Sayangnya, upaya ini tidak dilakukan oleh KLH.Oleh karena itu, WALHI meminta Pemerintah Republik Indonesia segera: Pertama, mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, dengan membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas.Kedua, PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas.Ketiga, aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc., meliputi pemegang saham, dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, seperti Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP Migas.Keempat, Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas, bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah.Kelima, mengkaji ulang seluruh perundang-undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama.Keenam, melakukan proses audit atas eksplorasi dan eksploitasi migas di kawasan pemukiman padat untuk meninjau kembali kelayakan proyek-proyek tersebut.

No comments: